Selasa, 27 Desember 2011

Sabtu, 12 November 2011


Anak-anakku lagi praktek buat Jamu Instan bersama Bu Gurunya yang Cantik-cantik
Jum'at, 11 November 2011

Rabu, 02 November 2011

Puisi

Enyahlah kau dari hidupku!




Ritual Embun
Kepada Ummi

Jatuh satu-satu ke halaman hatiku
Kau bagai bening airmata itu

Pohonan tumbuh menyembul urat-darah-dagingku
Menghijaukan rasa diam-diam

Hingga, tak ada cinta                                                  tersisa
kecuali hanya untukmu

Sumenep, 2011


Tanah Itu
-     Almarhumah Ibunda Tercinta

Tanah itu mengekalkan kesedihanku, ibu
Disaat orang-orang mengasah airmata pisau
Wajahmu tergantung di daun mataku
Lalu mengembalikan aku ke masa lalu

Aku lahir dari keringat kuningmu
Dimana rahimmu yang semerbak bunga
Membuat hatiku rindu
Untuk kembali melukis tangisan pertama
Sebab, antara seru dan tawamu
Aku menemukan tulusnya pengorbanan

Tanah itu, ibu
Tanah yang menyimpan kenangan
Dari sederet kisah yang kau ceritakan
Saat aku masih menyecap manis susumu

Lalu kau membawaku berlari-lari di halaman
Sambil kau ajari aku mencumbui luka
: Segala yang yang tersisa dari senja
Adalah kekalnya cinta

Tanah itu, ibu
Telah mengekalkan kesedihanku
Lalu kembali melahirkan aku              dari rahim waktu
Dari luka yang kau sebut kematian.

Sumenep, 04 April 2011



Tahiyatku Terpenggal di Ujung Batas

Malam ini, entah malam yang ke berapa
Aku membawa kefanaan hidup ini kepadamu.
Takbirku meruang-raung di rongga dada
Memecah hening yang bening.

Kosong

Selalu saja ada yang hilang dari rakaatku
Sujudku tak tuntas
Tahiyatku terpenggal di ujung batas

Absurd

Aku semakin kehilangan arah rumahmu
Jalanan yang dulu kulalui telah berubah warna
Kau seperti bayangan tubuhku yang di terpa lelampu itu
Hingga aku kehilangan wujudku yang sebenarnya

Ah....
Masihkah kesunyian itu akan mengekalkan rindu?
Sementara derap langkah seribu purnama
Telah melemparku pada kealphaan yang sempurna
Dan keterasingan selalu melahirkan luka-luka baru.

2010

Jika Malam Ini Jibril Tak Turun

Jika malam ini Jibril tak turun
Suara hujan akan                                 membantun di dasar laut
Dan angin akan mengantar                                         rinduku ke pematang sunyimu

Matamu lindap
Menari-nari di ujung senyap
Menyekap jiwaku yang rantau di musim kemarau.

Selalu aku merasa bingung mencari senyuman pertamamu
Yang hanyut dalam tenggorokanku: dulu, saat gerimis masih mengamini doa-doaku
Lalu menyihirku menjadi pujangga yang selalu ingin bermain bunga
Di halaman rumahmu
Bahkan, tak kukenal lagi segerombolan awan yang berarak ke matamu
Juga helaian rambutmu yang tertinggal di bajuku

Maka malam ini,
Kembali kusulam kenangan                                        yang berserakan di kamarku
Tapi gerhana
Langit                                                              dan bumi dalam jiwa
Telah sempurna                                               kehilangan cahaya.

Sumenep, 2010

MOKSA

Pada hembusan angin yang berpacu dalam tubuh
Selalu kusebut namamu, kekasih
Sungguh pun aku tak tahu lagi membedakan
Gelombang atau rinduku yang gemuruh sepanjang waktu

Sunyi-bunyi
Bunyi-sunyi
Tak henti aku memuji

Di sinilah tubuh-tubuh asing itu belari
Mengejar bayangannya sendiri
Mencari tepi yang nisbi
Di balik puisi dan secangkir kopi

Bahkan, tak perlu kau ceritakan                                  tentang kecupan pertamamu
Yang membekas di keningku
Sebab aroma tubuhmu                                    telah mengalir ke tenggorokan
Lalu mendanau di hatiku

Hingga tak ada seorang pun yang tahu
Bahwa kita saling merindu.

Sumenep, 2010

Ritual Embun

Jatuh satu-satu ke halaman hatiku
Kau bagai bening airmata itu

Pohonan tumbuh menyembul urat-darah-dagingku
Menghijaukan rasa diam-diam

Hingga, tak ada cinta                                                  tersisa
kecuali hanya untukmu

Sumenep, 2011

Sebab Waktu Mengekalkan Rindu

Sebab waktu mengekalkan rindu
Izinkan aku membaca sajak yang memburai di tubuhmu

1
Rambutmu: dibelai sunyi
laki-laki berlarian mengejar mimpi sepanjang kemarau
menggugurkan helai rambutmu
seperti juga aku, membelai cemas dan diremas sesal yang tak usai
: pisau meresap ke jantungku, mencipta irisan luka-luka sangsai

o, betapa jarak tak pernah selesai mengurai kenangan
hingga tak sempat kuhapus segala sisa yang mendera
: hidup adalah belajar menerima dan selalu terluka

2
Matamu: sketsa bulan
awan berarak ke langitmu
burung-burung beterbangan mencari sisa luka yang kau buang di tikungan
juga apa yang telah retak di bening matamu
: hujan tumpah membanjiri kenangan

lalu aku belajar cinta kepada rasa yang bernama kehilangan
juga melulu cumbu pada apa yang kau sebut dengan masa lalu
agar sampai tangisku ke matamu
dan semoga tangismu mengembalikan aku pada halaman rumah-Nya

3
Pipimu: semu merah
bayang-bayang masa lalu bagai lelatu, berlompatan
setinggi langit mengabarkan kehilangan
duka yang tersisa dari sebuah peristiwa
mengembalikan aku pada luka yang menganga

bukankah sejak lama kau kehilangan?
dan aku tak sempat menemukannya di kolong ranjang

4
Bibirmu: merah bara
aku berharap masa lalu itu segera padam
biar dingin merajai malam-malam yang tertikam
tapi, tungku itu telah terlanjur kehilangan cinta
bara api membakar segala kegelisahan

aroma bangkai kenangan dan masa lampau
mengisahkan segala yang ranjau
mengabarkan betapa sulitnya mengubur pisau dalam diri

ah, betapa hangus kisah yang kau lukis di hariku
hingga cinta harus diberangus dalam beku darahku

5
Jemarimu: kebengisan hari-hari
sambil menghitung sisa usia, aku senandungkan nestapa
pada lembaran hari yang terkoyak
wajah-wajah pucat tersekat diantara reruntuhan puing-puing kenangan
meleburkan segala yang tersisa
dari luka masa lalu yang kutanggalkan diam-diam

6
Kakimu: Puncak perjalanan
bagi setiap keberangkatan, badai hanyalah titik terjauh
yang harus ditempuh
tak ada yang harus disesali dari perjalanan
sebab hidup sekedar singgah untuk hilangkan lelah

maka aku menapak jejak ke puncak koyak
mencumbui segala luka yang mendera.

Sebab waktu mengekalkan rindu
Izinkan aku mencintaimu dengan sisa kepedihan masa lalu.

Sumenep, 24 Maret 2011   

Fragmen Senja I

lalu sampailah kita pada senja
yang tanggal                            di bulan juli
maka aku, lelaki yang selalu mencumbui                    kehangatan sunyimu
izinkan untuk mengurai kenangan                  yang tersisa dari masa lalu.

mungkin, inilah yang kau sebut perpisahan
luka-luka baru                                     bagai kunang-kunang
yang mencemaskan                 cuaca malam
juga tapa burung di dahan-dahan
mengajarkan kesetiaan

aku datang mengamini gumammu di jantung sunyi
disaat orang-orang samadi mengemasi mimpi
dari sekian kisah yang terpenggal di ujung hari
: aku dan kau mempertemukan doa suci

dan, seperti juga kau, aku rasakan getaran
jarum jam serupa jarak yang mengajarkan kebersamaan
ataukah desahan                      yang tak usai-usai
menciptakan kegetiran di jantung ngarai

maka tak perlu kau tumpahkan airmata kesedihan itu
sebab bahagia dan derita
sama-sama membutuhkan airmata
untuk menikmatinya

ya, aku mencipta kesetiaan                 atas perpisahan
sebab senja adalah waktu                                yang mengekalkan
jarak siang dengan malam
begitu pun sua kita.

Sumenep, 05 Juli 2010
Fragmen Senja II

Aku ingin kembali mencumbui pertemuan
Disaat anak-anak berlarian menjelma sebentuk ruang
Yang mempertemukan sudut malam dan ujung siang

Sementara kau, semakin kehilangan wujud asli
padahal bebayang itu tak lagi sendiri
menafakuri hari yang tergores dalam diri

Senja ini, senja yang mengekalkan rindu kita
di antara yang hilang dan berlalu
kita adalah nestapa di alir hulu

dan kita mencari-cari sisa
di antara peristiwa yang tertunda
sambil belajar cinta pada rasa yang kau sebut duka

Lalu sampailah kita pada senja yang terluka
sebab setiap pertemuan pasti melahirkan perpisahan
dan setiap perpisahan akan melahirkan luka-luka baru

Sumenep, 2011

Mengejar Bayang-bayang

Semakin jauh kukejar
Bayang-bayang makin menghindar
: Begitu pun denganmu.

Sumenep, 03 April 2011